Dilema
Aku hanya bisa menundukkan wajah dalam sekali. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran mamaku. Kulihat jemarinya yang sedikit bengkak karena terlalu banyak bekerja setelah ayah meninggal. Setiap hari Mama bekerja jadi koki di sebuah restoran ternama di kota kami. Bahkan di waktu luangnya masih menerima orderan kue untuk memenuhi kebutuhan kami. Wanita yang dulu kuanggap sebagai pelindung kini berubah seperti monster yang mengerikan.
“Jadi sekarang apa keputusanmu Randu?” Mama selalu mendesakku.
Tenggorokanku tercekat, tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutku. Semakin dalam kutundukkan kepalaku.
“Aku tak akan meninggalkan Nisma, Ma.” jawab Randu lirih terbata-bata.
“Mama sangat kecewa sama kamu, Randu. Apa yang bisa kamu harapkan dari dia?” suara Mama melengking.
Aku yakin Nisma pasti mendengar obrolan kami dari dalam kamar.
Bagaimana perasaannya kalo sampai dia mendengarkan ini.” batinku.
“Jangan terlalu keras Ma, nanti Nisma dengar gimana? Jaga sedikit perasaannya Ma!”
“Kamu sudah mulai berani sama Mama. Lebih bagus kalo dia sudah dengar!” suara Mama semakin meninggi.
“Nggak papa, Mas Randu. Mas nggak perlu kasihan sama aku. Silahkan Mas menikah lagi, aku ikhlas.” tiba-tiba kudengar suara Nisma dari arah belakang. Suaranya begitu tenang, tapi aku tahu pasti hatinya pedih sekali.
Spontan aku menoleh ke arah Nisma. Wanita yang sudah 5 tahun kunikahi itu terlihat begitu lemah. Kanker menggerogoti leher rahimnya. Sudah 4 tahun dia berebut nyawa dengan kanker dan kini dia terlihat begitu lemah.
Kudekati tubuh yang semakin kurus kering dengan wajah layu itu. Dia seperti sudah tak sanggup menahan tubuhnya berdiri. Disandarkannya tulang yang terbalut kulit itu di dinding penyekat antara kamar dan ruang makan. Tempat dimana tubuhku terduduk kaku tak berdaya menerima penghakiman Mama. Kurangkul bahunya menuju arah kamar.
“Sayang, ayo kita masuk ke kamar saja.”
Nisma hanya menuruti ajakanku. Kurebahkan tubuh yang lemah itu di tempat tidur. Kupandangi wajah yang selama ini selalu tidur disampingku. Ditariknya kedua ujung bibirnya, sambil berkata “Mas turuti saja permintaan Mama. Aku sudah tidak mempunyai masa depan lagi Mas.”
“Tidak Nisma, aku tidak mau mencari penggantimu. Hanya kamulah satu-satunya wanita yang ada di dalam hatiku.” ucapku.
‘Tak terasa air mengalir di pipiku. Aku tidak bisa menahan lagi perasaanku. Semua yang kurasakan membuncah keluar seiring pecahnya bendungan yang ada di kelopak mataku.
“Aku ikhlas…Mas pengen punya keturunan kan?”
Pertanyaan Nisma semakin merobek hatiku. Kata-kata yang sering kuucapkan untuk menyemangati Nisma kini berbalik seperti ingin membunuhku. Tiba-tiba aku merasa bersalah atas apa yang pernah kuucapkan.
“Maafkan aku sayang…”
Mata layu itu terus memandang ke arahku. Sepertinya raga itu sudah tidak mampu menopangnya lagi. Aku hanya bisa menunduk, tak henti-hentinya air mataku mengalir.
“Aku capek Mas, Aku pengen tidur.”
Pelan sekali dikatupkan kedua matanya. Sedangkan aku hanya bisa terpaku dengan segala pikiran yang berkecamuk di otakku. Adakah pilihan lain untukku? Aku ingin sekali bisa mengabulkan permintaan Mama. Tapi di satu sisi aku tidak mau menyakiti hati orang yang aku cintai.
geger.siska83@gmail.com