Waktu Memang Tidak Bisa Diulang (Rindu Sahabat)
Sumber : Pexel by Irina Iriser
Waktu memang tidak bisa diulang,
memaksa saya untuk mengembalikan ingatan pada beberapa hal yang saya sesali di
masa lalu. Tidak hanya soal pencapaian, tapi juga persahabatan. Jika diizinkan
waktu bisa berulang, ingin sekali saya bisa mengubahnya.
Didikan orangtua yang keras dan
sering mendapat perundungan dari teman-teman sekitar membentuk saya menjadi
pribadi yang tertutup. Meski memiliki banyak sahabat, baik di sekolah maupun di
rumah, saya tidak bisa terbuka pada orang-orang yang ada di sekitar.
Saya lebih suka menyimpan sendiri
apa yang sedang dirasakan, dipikirkan serta yang diinginkan. Mungkin saya bisa
setiap hari bertemu atau jalan dengan salah satu sahabat, tapi belum tentu saya
bisa membagi apa yang sedang saya rasakan.
Saat memasuki jenjang pendidikan
SMP, saya mendapat sahabat baru. Tidak hanya sahabat di sekolah, bahkan dalam
kegiatan ekstrakulikuler atau setelah selesai jam sekolah saya lebih sering
menghabiskan waktu bersamanya.
Sumber : Pexel by Aaron Burder
Bisa dibilang, sahabat saya ini
primadona sekolah. Tidak hanya cantik, sahabat saya ini juga dikenal baik dikalangan
teman-teman yang lain. Berbeda dengan sahabat yang lain, saya bisa lebih
terbuka dengannya dan menceritakan apapun yang saya alami.
Kepribadian yang berbeda, tak
membuatnya dengan mudah menceritakan pada orang lain, hal-hal yang sering saya
anggap pribadi. Orangtua kami tidak saling mengenal, karena orangtua sahabat
saya lebih banyak tinggal di Jogja.
Sedangkan dia, tinggal di sini
bersama kakaknya. Hanya satu bulan sekali saja, mamanya datang. Walaupun
begitu, saya berhubungan baik dengan
keluarganya. Begitu juga sebaliknya, sahabat saya ini juga berhubungan baik
dengan keluarga saya.
Selama bersama, tak ada yang aneh dengan
sahabat saya ini selain dengan suhu tubuhnya yang sering berubah dan tiba-tiba
panas. Tidak hanya suhu tubuh, seluruh permukaan kulitnya juga terdapat
bintik-bintik merah. Sangat kontras sekali karena kulit yang sebenarnya putih
bersih.
Sahabat saya tidak pernah
mengeluh, bahkan setiap kali ditanya selalu mengatakan jika dirinya sehat.
Tetang perubahan suhu tubuhnya yang sering berubah-ubah, dia juga hanya
mengatakan jika sering mengalaminya jika sedang kelelahan.
Tidak ada perubahan dalam
sikapnya, sahabat saya ini tetap ceria dan mudah tersenyum pada siapa pun yang
bertemu dengannya. Dia juga tak pernah mengeluh dengan semua cerita-cerita saya
yang mungkin bagi orang lain menjadi kurang menarik.
Persahabatan yang berjalan tiga
tahun terasa begitu cepat, hingga tak terasa kami harus berpisah untuk mengejar
mimpi masing-masing. Saya melanjutkan sekolah di kota yang sama, sedangkan
sahabat saya pindah ke Jogja untuk tinggal bersama kedua orangtuanya.
Kami tidak ada komunikasi sama
sekali hingga dalam waktu yang cukup lama. Persahabatan kami terjalin saat
media sosial dan ponsel belum menjamur seperti sekarang. Bisa dibayangkan, ya,
karena komunikasi kami hanya lewat surat saja.
Cukup lama, saya tidak mendapatkan
surat balasan dari Jogja. Saya berusaha untuk tetap berpikir positif, meski
merasa sangat kehilangan. Mungkin saja, sahabat saya sedang disibukkan dengan
tugas sekolah atau kegiatannya sebagai penari.
Saya tidak pernah mencari tahu
tentang kabar sahabat saya, karena sudah tidak ada anggota keluarga yang
tinggal di sini. Bahkan rumahnya dibiarkan kosong bergitu saja. Sampai berita
tentang sahabat saya datang dengan cara
yang mengejutkan.
Seorang teman datang untuk memberi
kabar, jika sahabat saya telah meninggal dunia. Usianya yang masih sangat muda tentu
saja tidak ada yang menyangka dengan kepergiannya. Tidak ada yang tahu jika
ternyata sahabat saya sudah lama menderita leukimia. Seketika tubuh saya
menjadi lemas saat mendengar beritanya. Duka yang dalam, membuat saya sudah
tidak bisa menangis.
Kesalahan saya yang tak pernah
benar-benar menanyakan kondisi kesehatan sahabat saya. Saya terlalu percaya
dengan semua ucapannya yang tidak ingin membuat sedih orang di sekitarnya. Dia lebih
suka menyimpan kesedihannya sendiri dan tidak ingin menyusahkan orang lain.
Jika waktu bisa terulang, saya
ingin memperbaikinya. Saya ingin selalu ada di sisi sahabat saya pada saat
hari-hari terakhirnya. Mungkin tidak banyak yang bisa saya lakukan karena semua
sudah kehendak Allah Swt, tapi setidaknya saya berada disampingnya seperti yang
dia lakukan selama ini pada saya.
Waktu memang tidak bisa diulang,
tapi ada banyak kebaikan yang diwariskan sahabat saya. Di sinilah waktu mengambil
perannya sebagai suatu yang kekal. Waktu tak pernah bisa disentuh tapi ada.
Waktu juga akan membuat siapa saja yang melewatkannya dengan sia-sia.
Harapan saya, semoga Allah Swt
memberikan tempat yang sebaik-baiknya untuk sahabat saya. Kebaikan yang
ditanamkan selama berada di dunia menjadi pemberat amal ibadahnya. Seperti
senyumnya yang menunjukkan jika dia sudah menerima semua ketetapan yang
diberikan Allah Swt.
***
geger.siska83@gmail.com