3 mins read

Posesif

Kupandangi cewek berambut sebahu di depanku. Sepertinya aku belum pernah melihatnya. Wajahnya tirus, tidak cantik tapi menarik. Lumayan modis tapi masih terlihat simpel. Aku belum pernah melihat sebelumnya. Jam tangan berkalep besar terbuat dari kulit dengan merk ternama tersemat di lengan kirinya.

Tak ada senyum yang menghiasi bibirnya. Sudah tiga hari ini kuperhatikan, sepertinya memang dia lebih suka menyendiri. Setiap jam istirahat hanya duduk sendiri di taman sambil membaca buku. Seperti tak peduli dengan yang ada di sekitarnya. Hanya sesekali membalas sapaan siswa lain yang lewat di depannya. Banyak cewek di sekolah ini yang kudekati tapi cewek yang kulihat sekarang berbeda.

“Cie…ada sasaran baru sepertinya. Namanya Nadia, siswi baru pindahan dari Bandung.” ucapan Danu mengagetkanku.

“Bisa aja. Oh, pantes. Aku baru melihatnya. Kok kamu tahu Dan?”

“Apa sih yang Danu nggak tahu? Udah bosen sama Sarah?” tanya Danu sambil nyengir.

Aku hanya tersenyum membalas pertanyaan Danu. Tak ada yang bisa kusembunyikan dari sahabatku ini. Hubunganku dengan Sarah memang belum lama. Baru tiga bulan, masih seumur jagung. Tapi aku sudah merasa tidak nyaman pacaran dengannya. Ambisinya untuk menjadi pacarku terlalu besar. Inilah yang membuatnya posesif.

Gayanya yang fashionable malah bikin aku bosan. Aku sudah malas-malasan kalau diajak bertemu Sarah. Walaupun cuma sekedar makan. Tidak ada bahasan menarik yang bisa diucapkannya selain tentang shopping. Sepertinya isi otak ceqek centil ini hanya berisi baju saja. Aku sendiri lebih memilih main game daripada menemaninya shopping.

Bel sudah berbunyi. Waktunya istirahat kedua. Aku berjalan menuju kantin. Hari yang panas berhasil membuat tenggorokanku kering. Kubeli minuman rasa jeruk untuk menghilangkan rasa hausku.

Mataku berputar mencari tempat duduk. Kupesan mie goreng untuk mengganjal perutku. Pandangan mataku berhenti dipojok ruang kantin. Ada Nadia disana, sedang mengunyah makanannya. Sebuah buku masih terbuka disisi sebelah kiri mangkoknya yang berisi bakso.

Kubawa minumanku menuju ke meja Nadia. Sepertinya dia tidak tertarik dengan kedatanganku di mejanya dan terus menyuapkan bakso ke mulutnya.

“Boleh duduk disini?” sapaku seramah mungkin. Sebenarnya aku malas kalau harus basa basi seperti ini.

“Boleh. Ini kan tempat umum.” jawabnya sambil tetap menikmati bakso di depannya.

“Oh ya, aku, Raditya.” ucapku sambil mengulurkan tangan.

“Nadia.” jawabnya singkat sambil mengulurkan tangan untuk menjawab salamku. Pesananku datang. Mie goreng telur.

“Sudah berapa hari pindah kesini?”

“Baru tiga hari.” lagi-lagi pertanyaanku hanya dijawab dengan singkat.

“Oh, ternyata disini ya Dit. Aku nyariin kamu kemana-mana. Malah enak-enakan makan disini sama cewek lain.” tiba-tiba suara Sarah menyambar seperti petir di telinga kananku.

Mukaku terasa panas. Malu. Hanya itu yang kurasakan. Sikap Sarah yang seperti ini membuatku tidak tahan bersamanya. Kulihat sekilas wajah Nadia, dan yang tampak hanya mulutnya yang mengunyah sisa-sisa bakso. Matanya terbelalak dan pandangannya tak lepas dari wajah Sarah. Kemudian berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Sarah! Kamu sukses membuatku malu. Aku cuma makan saja. Baru kali ini aku ngobrol sama Nadia. Dan sikap kamu sudah berlebihan. Aku sudah tidak tahan dengan sikapmu!” tanpa mempedulikan reaksi Sarah, aku pergi meninggalkannya.

Contact person :
geger.siska83@gmail.com

0 thoughts on “Posesif

  1. Mbak…..suka ceritanya….Cakep!
    Tapi maaf, bacanya ahgk nggak enak di mata. Karena tidak ada jeda…Bisa nggak ngetiknya per alinea..jadi ada jarak antar kalimatnya. Bacanya pun nyaman nantinya. Thanks…

  2. Maaf Mbak, cuma kasi masukan, kayaknya lebih enak bacanya kalau setiap alinea dikasi jeda…😊
    Tingkatkan terus semangat menulisnya, nanti semakin hari bisa kebih panjang…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *