Hanyalah Puan
Hujan datang bersama seteguk kenangan. Sepertinya hidup masih menarik untuk dilanjutkan. Ingin kuluapkan rasa di hati tapi aku ‘tak punya nyali. Sekedar do’a terpendam di gelap malam. Akan kupendam jika ini terlarang. Akulah puan yang menanggung rindu pantang.
Bisakah kau hitung rintik hujan? Belacak ‘tak menentu. Turun tajam menghujam butala. Biar kusimpan rasa ini, melindungkan kasih yang berputik. Tersembunyi di dasar hati. Aku hanya puan banal, pemegang ikatan tatanan.
Pahitnya kopi yang menemani ‘tak kan menghapus siluet yang tertanam tajam di benakku. Kenangan selalu indah untuk dikenang. Semua ‘tak kan pernah terulang. Ingin sekali saja kusentuh wajahmu dengan lembutnya nafasku. Ku ‘tak kuasa, hanya puan yang terikat rasam. Kurelakan, semuanya menjadi kelam.
Lembayung senja menyeruak ke permukaan. Menyibak bumantara dengan nuansa jingga. Lengkungan raga penyejuk jiwa. Ingin kurengkuh setiap lekukan tubuhmu, tapi apa dayaku. Ingin kulumat, kunikmati setiap senti sendi-sendimu. Sungguh rumit, kupendam sendiri rasa ini. Kunikmati sakitnya sendiri. Aku hanyalah puan.
Tuan, ingin kuredam badai di hatimu. Namun ibaku mengalahkan rasaku. Ingatkah romansa itu, genggamlah tanganku dan juga hatiku. Agar kau tahu, sebuah rasa yang ada di setiap sudut arteri. Aku lelah menjadi puan ‘tak berpengharapan.
Solo, 26.02.2017
geger.siska83@gmail.com