Demi Ayahmu
Bercak merah masih menempel di sudut bibirmu. Sedikit perih, diusapnya darah itu. Bau anyir menusuk hidungmu. Tampak di kaca rias, pipi yang kini lebam karena tamparan ayahmu masih terasa panas. Sudut mata kirimu sedikit bengkak. Pukulan itu keras sekali sampai kepalamu pusing.
Buliran panas masih mengalir di kedua pipimu. Kau dekap kedua kakimu diatas kursi yang rapat dengan jendela. Sisi kiri wajahmu memang sakit akibat tamparan itu. Tapi hatimu lebih sakit, bahkan hancur. Kamu memandang ke luar jendela. Apa yang telah kau lihat, tak banyak membantu meredam hati dan pikiranmu. Baru kali ini kau sangat kecewa dengan ayahmu.
Sejak ibumu meninggal, sikap ayahmu berubah. Kau tak merasakan kelembutan lagi. Kau merasa dibenci orang yang telah membesarkanmu selama ini. Disaat seperti ini, kau sangat ingin merasakan kehadiran ibumu. Dulu sewaktu ibumu masih hidup, kau berkelimpahan kasih sayang. Kelembutan tutur kata dan sikap dirasakan dari kedua orang tuamu.
Kau anak tunggal dari seorang pengusaha furniture. Usaha ayahmu yang besar sampai menjangkau pasar luar negeri. Kaulah satu-satunya yang akan menjadi pewaris usaha ini. Berbagai macam ilmu bisnis sudah dijejalkan ke dalam otakmu. Hatimu selalu berontak, karena kau merasa ini bukan passionmu. Kau hanya ingin menjadi pelukis, meski dianugerahi otak yang encer. Harapan yang diberikan padamu terlalu tinggi. Kau tak yakin bisa menjalankan amanah itu dengan baik.
Demi memenuhi keinginan ayahmu, dia rela kuliah manajemen bisnis di Australia. Bangku kuliah yang sama sekali tak bisa kau nikmati. Semua ini dia lakukan agar ayahnya tidak kecewa. Kuliah selesai tepat waktu tak cukup menjadikanmu kebanggaan di depan ayahmu. Inilah pertama kalinya kau mengungkapkan isi hatimu dan tamparanlah yang kau dapatkan. Biasanya disaat seperti ini, ibumulah yang menjadi pelindung sekaligus penenangnya. Tapi kini semua berubah, ketiadaan ibu membuat emosi ayah semakin sulit dikontrol.
Sehari semalam kau tidak keluar kamar sejak ditampar ayahmu. Luka hatimu cukup dalam, ingin rasanya kau pergi dari rumah ini. Tapi mengingat hanya ayah, satu-satunya keluarga yang kau miliki saat ini maka niat itu kau urungkan. ‘Apa yang akan terjadi pada ayah, kalau kau pergi dari rumah?’ pikirmu. Serangan jantung bisa menghampiri ayahmu lagi jika kau jadi pergi.
Kau menuju ke kamar mandi dengan malas. Hati dan pikiran yang begitu berat. ‘Ini untuk masa depanmu, Rena.’ Berulang kali kalimat itu mendengung di telingamu. ‘Masa depan seperti apa? Apakah kau tidak berhak memilih masa depanku sendiri?’ batinmu. Setelah selesai membersihkan diri, kau mulai melangkah keluar kamar. Ruangan tempatmu mengurung diri dari tatapan tajam ayahmu.
Kau lihat ayahmu sedang duduk di meja makan. Sekilas dia melihat, mata ayahmu memicing melihat kedatanganmu. Kau melihat ayahmu semakin bertambah tua sekarang. Tubuh ayahmu yang dulu tegap kini lebih kurus semenjak ditinggal ibu. Wajah ayahmu masih terlihat mengeras. Perlahan kau duduk mendekati ayahmu yang masih sibuk menghabiskan makanan, kau tatap wajah ayahmu yang terlihat acuh atas keberadaanmu.
“Ayah, aku minta maaf atas kejadian kemarin. Aku…bersedia mengikuti kemauan ayah, tapi dengan satu syarat.” Kau ucapkan kalimat itu dengan hati-hati. Kau melihat ayahmu berhenti mengunyah makanan di mulutnya.
“Aku mau, Ayah tidak melarangku lagi melukis.”
“Ya, Ayah tidak akan melarangmu lagi. Sekarang makanlah. Ayah mau ke kamar dulu.” Kau cukup lega dengan jawaban ayahmu. Tapi kau merasa ada yang tidak wajar dengan ayahmu. Kau tatap ayahmu yang melangkah menuju kamar. Seperti ada yang ditutupi ayahmu. Kau ikuti langkah kaki ayahmu perlahan. Kau dapati ayahmu sedang menangis dan mendekap foto ibumu. Celah pintu kamar ayahmu yang tidak terkunci cukup untuk melihat apa yang sedang dilakukan ayahmu di dalam kamar. Kau membuka pintu kamar dan memeluk ayahmu dari belakang.
“Maafkan Rena, Ayah…Maafkan Rena.”
geger.siska83@gmail.com